Ketitang.id: Kurban merupakan ibadah yang paling dianjurkan selama perayaan Iduladha, tepatnya dimulai waktu duha tanggal 10 hingga 13 Zulhijah. Menyembelih hewan kurban termasuk ibadah sunah yang kaya pahala, hikmah, dan keutamaan.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Iduladha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Syekh Muhammad bin Mukrim bin Ali Abu al-Fadhl Jamaluddin Ibnu Manzhur dalam Mu’jam Lisan al-‘Arab fi al-Lughah menjelaskan, istilah kurban berasal dari bahasa Arab, qariba–yaqrabu–qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat. Maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Sebutan lain dari ibadah tersebut adalah “udhiyah,” bentuk jamak dari kata “dhahiyah” yang berasal dari kata “dhaha”, yang bermakna duha, waktu dimulainya proses penyembelihan hewan kurban.
Anggapan adanya larangan menyembelih kurban di masjid
Pada dasarnya, Islam tidak membatasi tempat dilakukannya penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban boleh disembelih di tempat sembelihan khusus, depan rumah, maupun di halaman masjid/musala. Asalkan proses penyembelihan itu memenuhi syarat sah yang telah ditentukan, sebagaimana yang dianjurkan Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf atau Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
Sayangnya, banyak yang berpendapat dengan tanpa teliti bahwa menyembelih di halaman masjid tidak diperbolehkan. Anggapan itu muncul karena berdasarkan hadis yang menjelaskan larangan mendirikan salat di tempat penyembelihan hewan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar R.a dijelaskan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ : فِي الْمَزْبَلَةِ ، وَالْمَجْزَرَةِ ، وَالْمَقْبَرَةِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ ، وَفِي الْحَمَّامِ ، وَفِي مَعَاطِنِ الْإِبِلِ ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Rasulullah Saw melarang salat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat jagal, (3) kuburan, (4) tengah jalan, (5) di pemandian, (6) tempat menderumnya unta, dan (7) di atas bangunan ka’bah. (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Masih dalam kitab yang sama, Imam Nawawi menjelaskan alasan dilarangnya salat di tempat pemotongan hewan adalah karena rentan terkena najis berupa darah dan kotoran lainnya.
وذكر المجزرة والمزبلة، وإنما منع من الصلاة فيهما للنجاسة، فدل على أن طهارة الموضع الذي يصلي فيه شرط
“Hadis ini menyebutkan tempat sampah dan tempat jagal. Dilarang salat di dua tempat itu karena alasan najis. Yang ini menunjukkan bahwa kesucian tempat salat merupakan syarat sah salat.”
Hadis itu pula yang kemudian menjadi dasar pendapat Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam Fatawa al-Kubra bahwa menyembelih hewan kurban di masjid berpotensi haram.
لا يجوز أن يذبح في المسجد: لا ضحايا ولا غيرها، كيف والمجزرة المعدة للذبح قد كره الصلاة فيها، إما كراهية تحريم، وإما كراهية تنزيه ؛ فكيف يجعل المسجد مشابها للمجزرة، وفي ذلك من تلويث الدم للمسجد ما يجب تنزيهه
“Tidak boleh menyembelih apapun di masjid, baik kurban maupun yang lainnya. Bagaimana mungkin menyembelih dilakukan di masjid, sementara tempat jagal termasuk tempat yang tidak boleh digunakan untuk salat. Bisa larangan haram atau larangan makruh. Sehingga bagaimana mungkin masjid dijadikan seperti tempat jagal binatang. Padahal ini bisa mengotori masjid dengan darah, yang seharusnya dibersihkan.”
Keutamaan menyembelih kurban di masjid
Akan tetapi, banyak ulama yang justru berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban di halaman masjid diperbolehkan.
Argumentasi yang digunakan antara lain, hadis yang digunakan berstatus daif, tidak berhubungan dengan boleh tidaknya menyembelih hewan di lokasi tersebut, dan yang dimaksud menyembelih hewan di masjid tersebut adalah di bagian halaman atau tanah lapang, bukan di ruangan masjid tempat salat.
Bahkan, Syekh Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al Fiqh ala Al Madzahib Al Arba’ah menyebut, para ulama dari kalangan mazhab Maliki justru menghukumi sunah untuk menyembelih hewan kurban di halaman masjid maupun musala tempat dilangsungkannya salat Iduladha.
المالكية قالوا: يندب إبراز الضحية للمصلي، ويكره عدم ذلك للإمام فقط، ويندب أن يكون الصنف الذي يضحى منه جيداً من أعلى النعم وأكمله، وأن يكون من مال طيب، وأن تكون سالمة من العيوب التي تصح بها
“Dan di sunahkan untuk menampakkan hewan kurban di musala, dan dimakruhkan tidak menampakkan hewan kurban di musala bagi imam saja, dan disunahkan bahwa jenis kurban tersebut yang terbaik dan sempurna dari hewan ternak, dan seyogianya kurban hasil dari harta yang baik, dan hewannya selamat dari aib yang menjadikan sah hewan kurban.”
Penjelasan serupa juga dipaparkan Imam As-Syaukani dalam Nailul Authar, yang menganjurkan hewan kurban disembelih di halaman musala atau di masjid guna diperlihatkan pada orang-orang yang miskin dan fakir calon penerima daging.
قوله: كان يذبح وينحر بالمصلى فيه استحباب أن يكون الذبح والنحر بالمصلى وهو الجبانة. والحكمة في ذلك أن يكون بمرأى من الفقراء فيصيبون من لحم الأضحية.
“Perkataan; Adalah menyembelih dan memotong hewan kurban di musala dianjurkan [istishab], bahwa menyembelih hewan tersebut di musala yang ada tempat pemotongan hewannya. Adapun hikmah yang demikian adalah agar bisa disaksikan oleh orang yang fakir, sehingga mendapatkan bagian mereka dari daging sembelihan kurban tersebut.”
Sehingga para ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan di masjid atau musala memiliki keutamaan demi transparansi kualitas maupun distribusi daging kurban, syiar dan dakwah keislaman, serta menjamin kesahan prosesi penyembelihan karena bisa diwakilkan oleh ulama/panitia yang dianggap lebih paham dan fasih terkait syarat sah berkurban.
Sebagaimana yang telah disepakati para ulama, syarat penyembelih hewan kurban adalah pertama, orang Islam/orang yang halal dinikahi orang Islam. Jika hewannya ghairu maqdur (tidak dapat dikendalikan), maka disyaratkan orang yang menyembelih adalah orang yang bisa melihat. Kedua, apabila penyembelih merupakan orang yang buta, anak yang belum tamyiz dan orang yang mabuk, maka sembelihannya dihukumi makruh.
Berikutnya, dalam penyembelihan, penyembelih harus memotong hulqum (jalan napas) dan mari‘ (jalan makanan). Hal ini apabila hewannya maqdur.
Secara hukum asalnya, kurban memang dianjurkan disembelih secara mandiri oleh pemiliknya. Hal itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بكبشين أملحين أقرنين فذحبهما بيده
“Nabi Saw menyembelih sendiri dua ekor domba yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Imam Al-Qasthalani dalam Irsyadus Sari mengatakan:
ففيه مشروعية ذبح الأضحية بيده وإن كان يحسن ذلك لأن الذبح عبادة والعبادة أفضلها أن يباشرها بنفسه
“Ini menjadi dalil disyariatkan penyembelihan kurban dengan tangan sendiri, dengan syarat dia pandai menyembelihnya. Sebab kurban merupakan ibadah dan ibadah lebih utama dilakukan oleh pihak yang bersangkutan.”
Pendapat Imam Al-Qasthalani itu kemudian menunjukkan bahwa kepandaian dalam menyembelih kurban menjadi syarat untuk tidak diwakilkan. Oleh karena itu, Syekh Badruddin Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari menyebut bahwa mewakilkan kepada orang yang paham dalam proses penyembelihan baik secara teknik maupun keagamaan menjadi sesuatu yang lebih dianjurkan:
وقد اتفقوا على جواز التوكيل فها فلا يشترط الذبح بيده لكن جاءت رواية عن المالكية بعدم الأجزاء عند القدرة وعند أكثرهم يكره، لكن يستحب أن يشهدها ويكره أن يستنيب حائضا أو صبيا أو كتابيا
“Ulama menyepakati kebolehan mewakilkan penyembelihan kurban dan tidak ada keharusan menyembelihnya sendiri. Akan tetapi, ada satu riwayat dari Mazhab Malik yang menyatakan tidak sah apabila ia mampu menyembelihnya, sementara menurut kebanyakan pendapat Mazhab Malik hukumnya makruh. Disunahkan bagi orang yang mewakilkan penyembelihan hewan kepada orang lain untuk menyaksikan prosesnya dan dihukumi makruh bila diwakilkan kepada wanita haid, anak kecil, dan ahli kitab.”