Ketitang.id: Pondok Pesantren Ketitang Cirebon bukan lembaga pendidikan yang baru berdiri kemarin sore. Bahkan, jika diukur awal penggagasannya, pesantren yang berada di timur Kabupaten Cirebon ini sudah berusia lebih dari satu abad.
Pengasuh Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, KH Ahmad Zuhri Adnan menceritakan, pendirian Masjid Baitul Muttaqien pada 1912 menjadi tonggak keberadaan lembaga pendidikan yang kini berkomitmen sebagai pesantren ramah anak tersebut.
“Tonggak pertama Pesantren Ketitang didirikan KH Salwa Yasin pada 1912. Mbah Salwa mengawali pembangunan pesantren yang sebelumnya hanya sebagai majelis dengan mendirikan Masjid Baitul Muttaqien,” kata Ayah Zuhri, sapaan karib Kiai Zuhri, Sabtu, 3 Desember 2022.
Menurut Ayah Zuhri, Mbah Salwa lahir pada 1876. Mbah Salwa dikenal sebagai sosok yang rendah diri, dermawan, sekaligus ahli riyadah dan tirakat. “Nyaris di sepanjang hidupnya, Mbah Salwa senantiasa menjalani ibadah puasa, kecuali di dua hari raya, hari tasyrik, atau hari-hari yang diharamkan berpuasa. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berharap dikaruniai keturunan yang saleh dan mencintai ilmu agama,” kata beliau.
Mbah Salwa wafat di usia 79 tahun. Setelah itu, tampuk kepengasuhan pesantren diserahkan ke menantunya, yakni KH Asror Hasan atau lebih masyhur disapa Yai Asral. “Yai Asral lahir pada 1911. Beliau adalah putra pasangan KH Hasan Muthohar dan Ny. Salamah Nursyadah. Kediaman Kiai Hasan berada di sebelah utara Masjid Nurul Islah, Japurakidul. Kiai Hasan yang merupakan ulama kharismatik wilayah Japura itu juga merupakan cucu kelima Raden Haryo Abu Salam Pemalang atau dikenal dengan sebutan Mbah Salamudin,” katanya.
“Sedangkan Mbah Salamudin sendiri adalah sahabat Mbah Muqayyim, pendiri Pondok Pesantren Buntet. Bahkan, berdasarkan sejumlah sumber, Mbah Muqayyim sempat menetap beberapa tahun di padepokan Mbah Salamudin saat menghindari kejaran tentara Belanda,” sambung Ayah Zuhri.
Di tangan Yai Asral, pesantren mulai dilengkapi dengan pendirian madrasah diniyah. Santri pun mulai berdatangan dari luar Cirebon, mulai dari Brebes hingga Pekalongan.
“Sayangnya, pada 1965, asrama pesantren yang berbentuk bilik bambu itu dibakar habis oleh antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI),” ujarnya.
Sepeninggal Yai Asral pada 1980, lanjut Ayah Zuhri, amanat pengembangan pesantren diteruskan ke Kiai Mohamad Adnan Amin. Beliau adalah putra sulung Yai Asral. “Sejak saat itu dimulailah pendirian sejumlah lembaga pendidikan formal mulai dari madrasah ibtidaiyah (MI), raudlatul athfal (RA), dan madrasah diniyah takmiliyah awaliyah (MDTA). Sementara pendidikan nonformal digelar malam hari, yakni madrasah murottilil qur’an (MMQ) dan pengajian kitab kuning,” kata Ayah Zuhri.
Pada 2002, Kiai Adnan pun wafat. Beliau meninggal di saat mengimami jemaah salat maghrib. “Tahun itu merupakan tahun kesedihan bagi keluarga besar Pondok Pesantren Ketitang, terutama bagi anak-anaknya,” kata dia.
Kini Pondok Pesantren Ketitang kian berkembang di bawah asuhan Ayah Zuhri. Di bawah kepemimpinannya, kelas pengajian dibentuk secara klasikal menjadi kelas Iidadiyah, Jurmiyah, Amrithi, dan Alfiyah. Sementara MMQ dipecah menjadi kelas Tahsinul Qur’an dan Tahfizul Qur’an.