Ketitang.id: Lebih dari 150 warga binaan (narapidana) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Kesambi, Cirebon mengikuti kajian tasawuf bertema “Menjaga Prasangka Baik terhadap Allah Swt.” Pengajian tersebut diisi oleh salah satu dari keluarga besar Pondok Pesantren Ketitang, Cirebon, Ang H. Sobih Adnan pada Rabu, 22 Februari 2023.
Dalam kesempatan itu, sosok yang karib disapa Angobik tersebut menyajikan penjelasan Pasal 59 dari karya monumental Syekh Atha’illah As-Sakandary, Al-Hikam.
لَا يَعْظُمُ الْذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الْظَّنِّ بِالْلَّهِ تَعَالَىْ؛ فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اسْتَصْغَرَ فِيْ جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبُهُ
“Janganlah membesarkan dosa (dengan suatu) kebesaran (tertentu) di sisimu, (sedemikian rupa sehingga) menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya barang siapa mengenal Rabb-nya, maka ia akan menganggap kecil dosanya di sisi kemuliaan-Nya.”
Angobik menjelaskan bahwa ada dampak yang membahayakan ketika seseorang terlalu larut dalam penyesalan. Jika tidak terkontrol dengan baik, maka, hal itu justru berpotensi memunculkan perasaan buruk sangka kepada Allah Swt.
“Awalnya merasa malu kepada Allah Swt sehingga ia berputus asa dalam melakukan taubat. Selevel kemudian, ia berkeyakinan bahwa Allah Swt mustahil untuk memberikan pengampunan kepadanya. Dan finalnya, ia merasa Allah Swt tidak adil lantaran menakdirkannya sebagai seorang pendosa,” kata Angobik.
Dia menjelaskan, Allah Swt terbebas dari segala tuntutan dan tanggung jawab apapun. Menurutnya, perlu diimani pula bahwa kemurahan dan sifat pemaafan Allah Swt jauh lebih besar ketimbang apa-apa yang diperbuat dan dimiliki makhluk-Nya.
“Oleh karena itu harus dipahami bahwa Allah Swt tidak sedikit pun berkewajiban untuk memberikan ampunan karena taubat yang kita lakukan. Tetapi, sebaliknya, ciri ampunan Allah Swt turun adalah ketika seseorang pendosa itu mau bertaubat,” jelasnya.
Angobik menegaskan, berprasangka baik terhadap Allah Swt adalah sebuah keharusan. Sebab, perasaan khusnudzan itu pula bisa membawa manusia untuk terbiasa di level syukur.
“Karena khusnudzan itu awwalu surur, awal dari kebahagiaan. Dengan begitu, orang akan dengan lebih ringan mengucap syukur,” katanya.
Terlebih lagi, lanjutnya, Syekh Ibn Athaillah dan sejumlah ulama lain menyebutkan bahwa keberadaan manusia di dunia itu mestinya berada di maqam syukur. Akan tetapi, pada faktanya manusia berasumsi bahwa mereka berada di maqam sabar.
“Makanya lebih banyak orang yang bilang ‘yang sabar saja, dunia memang penuh tantangan,” katanya.
Padahal, kata Angobik, Allah Swt telah menurunkan dua nikmat sekaligus seiring penciptaan manusia. Yakni, ni’matul ijad (nikmat mewujud) dan ni’matul imdad (nikmat iman, Islam, dan ihsan).
“Bayangkan jika kita tidak pernah diciptakan? Ya, kita tidak akan pernah dikenal, disapa, apalagi dikenang,” katanya.
Terakhir, dia menyatakan bahwa berprasangka baik bukan berarti meremehkan keadilan Allah Swt dalam memberikan peringatan terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan manusia. Akan tetapi, jika terbiasa, maka orang-orang di level ini justru akan mampu menyeimbangkan antara khauf (perasaan takut kepada Allah Swt) dan raja (pengharapan atas keridaan Allah Swt).
“Kalau kita yang awam, al aamatu idza khuwifu, khowfu (ketika ditakut-takuti akan semakin takut), wa idza rujuuu, rojaw (ketika diberi pengharapan, akan bahagia),” jelasnya.
“Tetapi bagi orang-orang dengan jam terbang ibadah yang tinggi dan kepasrahan serta penghambaan kepada Allah Swt secara total, maka, mata khuwifu, rojaw (ketika ditakut-takuti malah bahagia), wa mata rujuuu, khaufu (ketika diberi kabar gembira, ia khawatir,” ungkap Angobik.