Ketitang.id: Esensi berkurban bukanlah sebatas menyembelih hewan ternak, tetapi di dalamnya terdapat refleksi dan nilai kedermawanan serta empati terhadap sesama.
Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, KH Ahmad Zuhri Adnan, saat menyampaikan khotbah Iduladha, Kamis, 29 Juni 2023.
Menurut Ayah Zuhri, sapaan karibnya, di dalam konteks sosial, kurban merupakan manivestasi nilai kemanusiaan dan ungkapan rasa rela berkorban.
“Sementara dalam konteks syariah, kurban bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan manifestasi keimanan seorang hamba, yaitu melepaskan kecintaan duniawi demi meraih takwa. Bahkan lebih dari itu, ibadah kurban merupakan wujud kesempurnaan iman terhadap Allah Swt,” katanya.
Maka, terkait kapasitas iman ini, tidak semua orang yang lapang kemudian dapat dengan ikhlas berkurban, akan tetapi terkadang seorang Muslim yang tidak memiliki apa-apa, namun, melakukan semangat ingin dan melakukan ibadah kurban, maka Allah akan membalasnya dengan karunia yang lebih besar.
“Hal inilah yang menjadi esensi berkurban, yakni sebagai simbol keimanan dan spirit persiapan bekal untuk menghadap Allah Swt berupa melepaskan kecintaan duniawi demi meraih takwa,” kata Ayah Zuhri.
Dalam hal keimanan, Nabi Ibrahim As adalah sosok yang sangat patut dijadikan teladan. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah tidak berkurang walaupun harus dibuktikan dengan mengorbankan anak yang dicintainya.
“Secara logika siapa pun akan menolak realitas yang sungguh bertentangan dengan kemanusiaan. Secara naluri Nabi Ibrahim tak sanggup untuk menyembelih putra kesayangannya, namun, karena persoalan iman, Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah dengan ketaatan yang sempurna,” lanjutnya.
Contoh kedua adalah keteguhan iman Abu Bakar As-Shidiq ketika menerima kabar dan langsung mempercayai peristiwa isra mikraj Rasulullah Muhammad Saw. Betapa tidak, isra mikraj adalah peristiwa di luar nalar. Perjalanan dari Makkah menuju Masjidil Aqsha, Palestina yang secara normal memerlukan waktu tiga bulan dengan menunggang unta tapi dilakukan oleh Rasulullah hanya dalam sekejap.
“Perjalanan ke Sidiratul Muntaha menempuh tata kosmos yang maha luas, bahkan malaikat Jibril hanya dapat mengantar Rasulullah sampai mustawa sebab kata jibril untuk menuju hadirat Allah butuh waktu 60.000 tahun. Sebegitu jauhnya jarak, tapi hanya ditempuh satu malam saja. Logika Abu Bakar menolak Isra Mikraj, tapi dia menerima karena persoalan iman,” jelas Ayah Zuhri.
Ketiga, ketika Umar bin Khattab tawaf bersama Rasulullah. Di saat melihat Rasulullah mencium hajar aswad, Umar berkomentar, “Kenapa batu dicium, bukannya batu itu tidak ada manfaat dan juga tidak mendatangkan bahaya?:
“Ketika ditanya balik oleh Nabi, ‘Apakah kamu beriman?’ Umar langsung menjawan, ‘Ya, saya iman. Nabi bersabda, jika kamu cinta dan iman kepada Allah, maka ikutilah aku. Lalu Umar mencium hajar aswad sambil bergumam, ‘Seandainya aku tidak melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Rasulullah mencium hajar aswad, maka aku tidak akan menciumnya,” kata Ayah Zuhri.
Contoh keimanan keempat adalah sahabat Rasulullah, Utsman bin Affan. Suatu hari kapal induk Utsman merapat di dermaga. Kapal memuat harta niaga komoditas pangan. Dagangan Utsman yang dikeluarkan dari kapal diangkut oleh 1.000 unta. Jika dikonversi satu isi kontainer diangkut oleh 25 unta, maka harta kekayaan Utsman saat itu adalah 25 kontainer.
“Namun, kemudian Utsman menginfakkan semuanya untuk kepentingan Islam dan kemaslahatan orang banyak. Pekerti Utsman seperti ini adalah persoalan iman, bukan logika ataupun nalar,” katanya.
Yang terakhir, lanjut Ayah Zuhri, ialah tekad Ali bin Abi Thalib yang siap menggantikan Rasulullah tidur di ranjang beliau ketika hendak hijrah. “Padahal risikonya adalah ancaman nyawa bagi Ali. Tapi Ali siap dan menerima karena persoalan iman,” kata Ayah Zuhri.
“Semoga kita semua senantiasa menjadi orang yang mampu meningkatkan keimanan demi meraih takwa kepada Allah dan senantiasa dianugerahi hati yang tulus ikhlas dalam memberi dan rela berkorban,” tutup Ayah Zuhri.