Oleh: Kang Saeful Adnan
TIDAK ada ketentuan syariat yang melarang pernikahan di bulan Syakban. Bahkan, sekalipun dilakukan di tengah bulan Ramadan.
Intinya, tidak ada larangan menikah pada bulan-bulan tertentu. Sebaliknya, ajaran Islam justru datang untuk menentang kepercayaan di masa jahiliyah yang menganggap bulan Syawal, misalnya, sebagai waktu yang haram untuk melangsungkan perkawinan karena dianggap akan mendatangkan banyak kesialan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي…. (متفق عليه).
“Dari Aisyah Ra, ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau Saw yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?” (Muttafaq ‘Alaih).
Ketika mengomentari hadis tersebut, Imam Nawawi menjelaskan:
وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع
“Siti Aisyah Ra dengan perkataan tersebut bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang dibayangkan sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan, atau berhubungan suami istri di bulan Syawal, ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ini adalah peninggalan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari Isyalah dan Raf̕’i (mengangkat).”
Jangan menyepelekan
Meskipun boleh, menikah pada bulan Syakban atau jelang Ramadan harus benar-benar bermodal kesadaran, komitmen, serta kehati-hatian. Karena jika sekali saja lalai, maka akan bertabrakan dengan hukum kewajiban berpuasa Ramadan secara fatal.
Sebagaimana diketahui bersama, salah satu pelanggaran paling berat saat berpuasa Ramadan menurut fikih adalah pasangan suami-istri yang nekat berhubungan seksual di siang hari. Pelanggaran ini tidak hanya menyebabkan batalnya puasa dan adanya kewajiban mengqada di hari kemudian, akan tetapi juga tercatat sebagai dosa dan terjerat kifarat atau kafarat ‘udhma (denda yang besar).
Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathu Qarib al-Mujib menjelaskan, jimak atau berhubungan badan di siang hari pada bulan Ramadan mewajibkan bagi para pelakunya untuk mengqada sekaligus membayar kafarat. Hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah Ra sebagai berikut:
أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَلِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا
“Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Muhammad Saw lantas berkata, ‘Celakalah aku! Aku mencampuri (berhubungan badan dengan) istriku (di siang hari) di bulan Ramadan.’ Nabi Saw bersabda, ‘Merdekakanlah seorang hamba sahaya (budak) perempuan.’ Dijawab oleh laki-laki itu, ‘Aku tidak mampu.’ Beliau kembali bersabda, ‘Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.’ Dijawab lagi oleh laki-laki itu, ‘Aku tak mampu.’ Beliau kembali bersabda, ‘Berikanlah makanan kepada 60 orang miskin.” (HR. Bukhari).
Wejangan dan perhatian Buya Ja’far
Ketika membahas tentang problem ini, penulis langsung teringat tentang kebijaksanaan seorang guru mulia, almrhum Abuya KH Ja’far Shodiq Aqiel Siroj, pengasuh Majelis Tarbiyatul Mubtadi-ien/MTM (sekarang Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon), tepatnya pada 2008 silam.
Kala itu, tiga hari jelang Ramadan, saya merasa beruntung sekaligus berlimpah keberkahan karena bisa melangsungkan pernikahan dengan ijab qabul langsung di bawah bimbingan Buya Ja’far. Sementara yang menyampaikan khutbah adalah KH Munawir Abdussalam Ambulu Losari, serta doa oleh KH Syifa Akyas Buntet Pesantren.
Setelah akad nikah berlangsung mulus, Buya Ja’far berpesan agar saya dan istri bisa menjaga kesucian puasa Ramadan. Terlebih lagi, tantangan sebagai pengantin baru yang tidak sembarangan.
Kami mengira, Buya Ja’far hanya sekedar memberikan wejangan. Ternyata, beliau terus merasa bertanggung jawab hingga memberikan kontrol langsung kepada kami hingga beberapa hari kemudian.
Sampai tepat di suatu siang, Buya Ja’far menelepon dan menanyakan apakah kami pada akhirnya membatalkan puasa atau tetap istiqamah. Saya pun menjawab bahwa kami, dengan penuh rasa syukur, tetap sebisa mungkin menunaikan amanah.
Setelah itu, Buya Ja’far memberikan semacam trik agar kami bisa beribadah di siang hari bulan Ramadan dengan lebih tenang. Beliau menyarankan agar saya dan istri berpisah dan pulang ke rumah masing-masing di saat siang, dan berkumpul kembali ketika maghrib menjelang. Tujuannya adalah demi meraih keberkahan Ramadan karena telah sekuat tenaga menjaga kemuliaannya.
Begitulah Buya Ja’far. Beliau memang dikenal sosok yang tegas, istiqomah, dan mencurahkan perhatian secara penuh kepada para santrinya. Namun, yang lebih penting dari itu, Buya Ja’far adalah ulama yang sangat menekankan agar kami tidak pernah sekalipun menganggap enteng syariat, apalagi menyepelekan larangan-larangan di dalamnya. Wallahu a’lam.
Teruntuk Buya Ja’far, lahul fatihah.