Oleh: Ang H. Sobih Adnan
HIDUP seadanya tidaklah mudah. Mengejar sesuatu dengan kadar secukupnya, tak semua manusia mampu melakukannya. Jika pun bisa, bersiaplah dianggap hilang dari peredaran. Hingga cap kemiskinan dan keterbatasan pun menempel lekat, lalu menutupi segala bentuk keistimewaan dari tangkapan mata awam.
Matrealisme memang penanda kuat manusia modern. Dasar segala sesuatu di dalam kehidupan seakan-akan harus ditakar serba-benda. Pakem kepemilikan uang dan harta telah menjadikan banyak orang mengesampingkan penghargaan terhadap sisi batin dan sikap manusia lainnya.
Soal ini, Nabi Muhammad Saw telah jauh-jauh hari melontarkan satire:
إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا هَذَا الْمَالُ
“Sesungguhnya ahsab (kemuliaan) bagi penduduk dunia adalah harta” (HR. Ahmad).
Dalam riwayat lainnya, Rasulullah mempertegas kritik tersebut lewat redaksi:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
”Yang disebut kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang kaya adalah suasana hati yang selalu merasa cukup.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hidup yang (tampak) seadanya, tetapi mulia, sebenarnya bisa dengan mudah berkaca dari Safinah. Meski ringkas, berjilid tipis, serta penulisannya didominasi dengan tata bahasa yang sederhana, buku berjudul lengkap Safinatun Najah fi Ma Yajibu ‘ala Abdi li Maulah (Perahu Keselamatan dalam Mempelajari Kewajiban Seorang Hamba kepada Tuhannya) itu dikaji hampir di seluruh pondok pesantren di Indonesia.
Safinah memang sederhana. Namun, buah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Saad bin Sumair Al-Hadhrami ini mampu menghimpun keterangan ihwal hukum-hukum fikih prioritas, bahkan berbonus ulasan tauhid. Saking terkesan padat dan redaksi yang gampang dipahami, Safinah menjadi asupan yang jitu dan bergizi bagi para santri di tingkatan awal. Di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, kitab ini masuk ke kurikulum pokok kelas Al-Awamil.
Kesederhanaan yang mewah
Bukti lanjutan bahwa kesederhanaan Safinah menyimpan sesuatu yang istimewa ialah bahwa kitab ini, pada masanya, menjadi objek favorit bagi para ulama untuk mengembangkan pengetahuannya. Safinah, termasuk menjadi salah satu kitab yang paling banyak disyarahi. Sebut saja, Kasyifun Saja ala Safinatin Naja karya Syekh Nawawi Al-Banteni, Durratu Tsaminah Hasyiyah ala Safinah karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Hadrawi, Naikur Raja Syarah Safinah Naja karya Sayyid Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, Nasiimul Hayah Syarah Safina al-Najah karya Syekh Al-Faqih Al-Qadhi Abdullah bin Awad bin Mubarak Bukair, Innaratut Duja bi Tanwiril Hija Syarah Safinah Naja karya Syekh Muhammad bin Ali bin Husein Al-Maliki, serta sederet judul lainnya.
Singkat kata, Safinah bukan hanya buku fikih dasar. Tetapi, bisa juga diposisikan sebagai mentor seorang manusia dalam laku keseharian. Terutama, tentang semangat kesederhanaan, niat, dan keikhlasan.
Suatu hari, salah satu muassis Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Kiai Mohammad Adnan Amin Asror berpesan, “Ngaji Safinah penting. Paling beli, kanggo landesan urip. Dudu soal ibadah bae, tapi kanggo bebaturan. Mengkaji Safinah itu penting. Paling tidak, sebagai bekal atau dasar hidup. Bukan cuma soal ibadah, tetapi juga untuk bersosialisasi.”
Dari sinilah kemudian bisa dipahami bahwa sosok yang karib disapa Mama Adnan itu memang menjadikan Safinah sebagai acuan sikap di sepanjang hayat. Meski entah dalam kadar berapa persennya, profil sosok yang sederhana itu rupanya turut terbangun atas peran Safinah.
Politik bahasa
Sudah barang tentu, tidak ada yang sepakat jika Mama Adnan disebut orang yang berlimpah harta. Tetapi, belum banyak yang tahu, bahwa di internal keluarga, tak pernah sekali pun dari mulut Mama Adnan terucap angan-angan menjumpai nasib berkemewahan.
Jika melompat pada kajian filsafat, barangkali Mama Adnan memang seorang epikurianis. Sebagaimana pemikir Epikuros yang meyakini bahwa target hidup hanyalah terbebas dari rasa khawatir, serta terhindar dari perasaan dan keinginan yang berlebihan.
Yang kerap diingat, Mama Adnan senantiasa berpesan tentang pentingnya menata niat. Saking pentingnya niat, bahkan prosesi itu dibaku-formalkan. Misalnya, tak peduli bagaimana pun kondisinya, Mama Adnan istikamah memilih Rabu sebagai hari dimulainya pengajian.
Pun soal keikhlasan. Di sinilah perbedaan tirakat orang-orang terdahulu dengan generasi hari ini. Mama Adnan, mungkin, generasi terakhir yang menjadikan keikhlasan sebagai investasi di masa depan. Qiyamul lail, puasa, dan serangkaian ibadah lainnya justru difokuskan demi kebaikan generasi di kehidupan mendatang. Mama Adnan, selalu terkesan hilang dalam alam pikirnya sendiri. Mama Adnan lebih kerap berbicara tentang cita-cita untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan putra-putrinya.
Pengaruh Safinah pada rekam jejak keseharian Mama Adnan paling kentara adalah penggunaan mode komunikasi dan berpikir yang diupayakan lebih mudah diterima orang-orang sekelilingnya. Padahal, Mama Adnan yang dikenal keluarganya ialah sosok yang gandrung dalam dunia perpolitikan, baik nasional maupun global.
Bayangkan, masih di tahun 1996, Mama Adnan sudah memprediksi rezim Orde Baru segera runtuh, yang menjadi kenyataan selang dua tahun kemudian.
Namun, itu adalah sikap dan bahasa keluarga. Ketika bermasyarakat, Mama Adnan memilih seri berbahasa dan berpikir berbeda.
Pernah, suatu hari, seorang warga membawa anaknya yang lunglai menghadap. Si ibu bilang, putranya itu kesurupan. Dia memohon agar Mama Adnan berkenan mengusir jin yang kini menawan tubuh buah hatinya itu.
Setelah diperiksa sejenak, apa yang Mama Adnan jawab? Sungguh di luar nalar. Katanya, “Saya tidak sanggup. Ini rajanya jin yang masuk. Tapi, tenang. Ada kawan saya yang lebih sakti pasti bisa menangani ini.” Lantaran menyerahkan persoalan penuh kepercayaan, akhirnya si ibu mempersilakan Mama Adnan membawa putranya ke sosok rujukan. Yang ternyata, diantar ke seorang dokter sembari Mama Adnan berkata, “Tolong diobati segera, Dok. Anak ini kena tipes (tifus).”
Itulah Mama Adnan. Ketimbang menyalahkan orang tua yang keburu berasumsi anaknya kemasukan siluman, lebih baik mengakurkan bahasa agar semua proses bisa dilalui dengan lancar. Terlebih, hal itu berkait paut dengan nyawa manusia.
Begitulah Safinah. Penggunaan bahasa yang sederhana, bukan berarti tanda kekurang-sempurnaan. Melainkan, hal itu justru lebih patut, daripada sesumbar bisa berbahasa semut. Wallahu a’lam bis shawab.[]